Doc Photo: Nova Iriansyah
Kabarnasinal.net, Banda Aceh- Hari Sabtu 19 Januari
2019 lalu, bertempat di Aula Kantor Kementerian Pendayagunaan Apartur Negara
dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB), saya bertemu kembali dengan Wakil
Presiden RI, Jusuf Kalla. Kamis (24/01/2019)
Pertemuan di acara pembukaan Musyawarah Besar
(Mubes) V Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)
Jakarta, mengingatkan saya pada peristiwa pertemuan 15 tahun lalu di Hotel
Kuala Tripa, Banda Aceh. Saya sangat bersyukur bisa kembali bertemu dengan
bapak Jusuf Kalla, bagaimana tidak karena tempat pertemuan di awal tahun 2004
itu sendiri yaitu Hotel Kuala Tripa, sudah “almarhum.” Saat itu, saya menjadi
moderator sosialisasi/Kampanye Pilpres di mana Jusuf Kalla adalah calon Wakil
Presiden RI 2004-2009.
Dalil naqli bersyukur
bagi saya sangat jelas, merujuk Firman Allah SWT. dalam Surat Ibrahim Ayat 7
menjadi syarat bertambahnya nikmat yg kita dapatkan. Sebaliknya, jika ingkar
atau kufur maka akan diberi azab. “La in syakartum la azidannakum wala in
kafartum inna adzabi lasyadid. (Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami
akan menambahkan (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka
sesungguhnya azabku sangat pedih). Janji Allah SWT ini patut dijadikan sikap
dasar bagi kita semua untuk menjemput nikmat pembangunan atas pertolongan dan
ridha-Nya.
Di samping syukur,
sillaturrahim juga penting dijadikan vitalitas dasar bagi kita semua untuk
menjemput kemajuan. Untuk diketahui, warisan/haritage/legacy Rasulullah yg
paling tinggi value-nya adalah sillaturrahim. Tidak banyak umat, selain umat
Islam yang memiliki nuansa dan atmosfer silahturahim dalam tiap saat dan nadi
kehidupannya. Nuansa silahturahim adalah value tertinggi yang kita dapat dari
Rasulullah SAW. Untuk itu, silaturahmi ini penting untuk kita jaga, rawat dan
lanjutkan jaga agar visi Aceh Hebat lebih cepat kita wujudkan bersama-sama.
Dengan semangat syukur
dan sillaturrahim maka kerja pembangunan memajukan Aceh secara kolektif dan
kolaboratif serta terkonsolidasi akan mudah dikapitalisasi menjadi modal
pembangunan. Dari waktu ke waktu, seiring perubahan yang disebabkan oleh
revolusi industri 4.0 atau revolusi enterpreneurship, peran pemerintah untuk
menjemput kemajuan semakin mengecil dan beralih ke peran swasta. Pemerintah
akan lebih fokus pada peran pelayanan guna memudahkan segenap urusan rakyat
(private) yang makin ke depan semakin besar perannya.
Aceh, di satu sisi
sedang mendapat momentum untuk melakukan percepatan pembangunan. Namun di sisi
lain, hari-hari ini Aceh juga sedang berada di lintasan kritis sebuah transisi,
antara mau atau tidak, antara mampu atau tidak, guna bergerak cepat untuk bisa
sejajar dengan provinsi lain. Pilihan rasionalnya adalah semua stakeholder
pembangunan harus saling berkolaborasi dan bersinergi. Semua aktor pembangunan
baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan
gampong termasuk perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan institusi
lainnya serta organisasi kepemudaan serta lembaga pemberitaan bahkan lembaga
budaya, agama bahkan individu perlu mengambil peran dalam memberi kontribusi
untuk memajukan Aceh. Begitu pula anggaran harus dikonsolidasikan sehingga
pembiayaan pembangunan Aceh tidak semata bergantung pada dana APBN, APBA dan
Dana Desa. Harus pula dicarikan skema-skema pembiayaan alternatif.
Di berbagai kesempatan
sillaturrahim, baik itu di lingkungan Pemerintah Aceh, kunjungan kerja ke
kabupaten/kota, kesempatan bertemu dengan Pemerintah Pusat, atau bahkan dalam
sillaturrahim dengan pihak-pihak lain, saya selalu mengingatkan pentingnya
kolaborasi dan konsolidasi. Memang tidak mudah menerapkan pendekatan ini, namun
jika pilihan ini tidak kita ambil, maka sepanjang tahun kita tidak menemukan
jalan keluar yang nyata guna mengakhiri kondisi yang terus memosisikan Aceh
sebagai Daerah termiskin di Sumatera, sekalipun faktanya angka kemiskinan kita
terus menurun. Namun, karena tingkat penurunannya kecil, sementara Daerah lain
juga menurunkan angka kemiskinannya, maka angka kemiskinan Aceh masih tertinggi
di Sumatera.
Sebagai Pelaksana
Tugas (Plt) yang ditetapkan oleh Mendagri pada 5 Juli 2018 saya sudah memulai
mengakhiri masa kritis transisi ini dengan memperbaharui silahturahmi dengan
mitra legislatif yang berbuah disahkan RAPBA 2019 tepat waktu. Dengan begitu,
delapan fokus anggaran 2019 bisa lebih cepat diwujudkan. Delapan fokus anggaran
itu adalah :
1. Penurunan angka kemiskinan dan
pengangguran;
2. Peningkatan aksesibilitas dan kualitas
kesehatan;
3. Pengurangan kesenjangan antar wilayah
melalui pengembangan kawasan strategis dan penguatan konektivitas;
4. Peningkatan ketahanan pangan dan energi;
5. Penguatan Dinul Islam dan peningkatan
kualitas pendidikan;
6. Peningkatan investasi dan nilai tambah
hasil pertanian industri kreatif, dan pariwisata;
7. Optimalisasi sumber daya alam
berkelanjutan dan penurunan resiko bencana; dan
8. Penataan reformasi birokrasi dan
penguatan perdamaian.
Meskipun APBA 2019
sudah bisa ditetapkan sebulan sebelum tahun berjalan, yang kita yakini akan
kembali berkontribusi pada penurunan angka kemiskinan pada Maret 2019 dan September
2019 ini, namun titik tolak perubahan lebih nyata justru diprediksi akan lebih
maksimal pada tahun anggaran 2020. Mengapa? Secara perencanaan, Aceh 2020 sudah
disiapkan lebih cepat Musrenbangnya sejak 2018. Melalui Surat 050/23442
bertanggal 7 September 2018 yang ditujukan kepada SKPA dan Surat 050/23582
bertanggal 8 September 2018 yang ditujukan kepada bupati/walikota saya sudah
meminta SKPA dan bupati/walikota untuk mewujudkan proses perencanaan
pembangunan 2020 yang tepat waktu dan berkualitas berdasarkan prinsip “evident
based planning”.
Sementara itu sejak
2018 dan tahun 2019 ini, pemerintah Aceh terus berkerja mendorong agar yang
awalnya macet bisa bergerak dan yang masih lambat akan terus dilakukan
akselerasi. Hasilnya, Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA), Badan
Pengelolaan Migas Aceh (BPMA), Bank Aceh, Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong,
dan lainnya mulai menggeliat. Sementara KEK Arun Lhokseumawe (KEKAL) juga
mengalami akselerasi sehingga dapat segera operasional. Begitu juga ragam peluang
yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi juga terus ditumbuhkan, seperti
rencana KEK Barsela, termasuk mereformasi BPKS agar bisa segera keluar dari
masalah internal agar dapat bergerak lebih baik lagi, dan banyak lagi lainnya
yang semuanya dipandang dapat segera mewujudkan Aceh Hebat.
Pemerintah Aceh juga
terus fokus pada reformasi birokrasi yang menjamin pelayanan lebih baik bagi
usaha rakyat yang berkontribusi bagi memajukan Aceh. Kita percaya, seperti yang
disampaikan oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa peran
Pemerintah harus makin memudahkan, bukan sebaliknya justru mempersulit, dan
untuk itu sesuatu yang membebani diri sendiri pada birokrasi harus diperbaiki,
salah satunya melalui penataan birokrasi dan rasionalisasi tenaga kontrak.
Lebih dari itu, kita percaya bahwa kerja produktif Aparatur Sipil Negara ada
kaitannya dengan lingkungan kerja yang bersih, rapi dan indah, dan untuk itu
saya menjadikannnya sebagai bagian dari evalusi kinerja pimpinan SKPA guna
memastikan lingkungan SKPA benar-benar mendukung iklim kerja yang lebih baik.
Guna mendukung
terwujudnya kerja plus yang menjamin pelayanan maksimal, maka kita juga
menjemput usaha menghadirkan ragam inovasi termasuk dengan menjalin kerjasama
dengan perguruan tinggi yang dalam rekam jejaknya telah berhasil menghadirkan
banyak inovasi pelayanan publik. Saya juga mendorong dan menjalin kemitraan
strategis dengan universitas dan perguruan tinggi yang ada di Aceh agar
menghasilkan kerjasama yang bergerak ke depan (moving forward), sehingga
tantangan berbuah peluang, kegagalan berganti dengan keberhasilan. Begitu pula
sinergi dengan lembaga swadaya masyarakat dan pemuda serta pers, terus dijalin
komunikasi dan kemitraan yang memungkinkan terbangunnya partisipasi masyarakat
dalam aktivitas pembangunan sekaligus sebagai usaha mewujudkan keterbukaan
dalam kerja pembangunan.
Semua hal tersebut
harus didasarkan kepada semangat bersyukur dan sillaturrahmi yang tanpa henti,
sebagai prasyarat perubahan untuk menjemput nikmat dari aktivitas pembangunan.
Demi Aceh Hebat yang
akan diwujudkan melalui implementasi 15 program unggulan sampai tahun 2022 maka
tidak ada pilihan lain, kecuali dengan kerja ekstra yaitu aparatur yang
berkinerja prima dan diikuti dengan inovasi berbasis teknologi sehingga target
penurunan angka kemiskinan 1 persen per/tahun bisa dicapai dan tidak mustahil
bisa lebih besar lagi.
Rakyat yang telah mengamanahkan kepemimpinan kepada pemerintah Aceh, perlu
terus dijaga kepercayaannya. Memang tidak mudah menjaga kepercayaan tersebut,
apalagi dalam era keteebukaan informasi yang nyaris tanpa batas. Tapi upaya
yang sungguh-sungguh untuk merawat kepercayaan dan meraih dukungan rakyat tidak
boleh berhenti. Mudah-mudahan kepercayaan dan dukungan terus menguat, sekalipun
masih tetap kritis.
Kebersamaan dan soliditas birokrasi dalam bingkai “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” telah menjadi tekad ASN, dan bahkan semua kita harus bertekad untuk segera keluar dari transisi ini.
Kebersamaan dan soliditas birokrasi dalam bingkai “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” telah menjadi tekad ASN, dan bahkan semua kita harus bertekad untuk segera keluar dari transisi ini.
Saya jadi terinspirasi
dari ajakan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang mengatakan untuk mewujudkan
kemajuan Aceh maka semangat berperang orang Aceh perlu diubah menjadi semangat
berusaha dan bekerja keras. Wapres mengingatkan bagaimana orang Aceh memiliki
kemampuan menghadirkan ide-ide cemerlang yang kemudian justru diadopsi secara
nasional, seperti Bappeda yang berasal dari Aceh Development Board. Begitu juga
kemampuan orang Aceh dalam berdagang, dibuktikan dengan kemampuan pengusaha
Aceh menguasai perdagangan di masa lalu melalui “Aceh Kongsi” dan “Aceh Sepakat”
yang secara nasional menginspirasi hadirnya Kadin dan wadah usahawan lainnya.
Masa kejayaan Aceh di masa lalu itu sepenuhnya milik sebuah generasi yang gigih
dan visioner pada waktu itu dimana harusnya menjadi inspirasi pula bagi
generasi masa kini untuk mewujudkan masa depan yang hebat.
Kembali ke dasar
ulasan, konsepsi konteks keislamannya adalah sejauh mana kita mau dan mampu
bersyukur pada setiap nikmat yang ada, apakah mampu menjadi insan yang pandai
bersyukur atau justru menjadi insan yang ingkar nikmat atau kufur. Lalu ujian
lainnya apakah sillaturrahim, bisa menjadi “pakaian” kebersamaan kita dalam
kerjasama membangun Aceh, atau hanya sekedar basa-basi di permukaan saja. Jika
pilihannya “menghidupkan” Aceh atau mewujudkan Aceh Hebat maka kerja ekstra
yang kolaboratif dan konsolidatif pasti menjadi pilihan, seraya terus merawat
semangat bersyukur dan sillaturrahim yang tanpa henti. Semoga, (Red/rilis)
No comments:
Post a Comment